Monday, March 5, 2018
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau
lebih dari siapa pun ?
Karena kau menulis. Suaramu takkan
padam ditelan angin,
akan abadi, sampai jauh, jauh di
kemudian hari.”
― Pramoedya
Ananta Toer
Karena
itu pulalah, setiap perjalanan menjadi terasa begitu istimewa karena
dituliskan. Karena selalu tak punya cukup banyak uang untuk membeli oleh-oleh,
semoga saja dengan cerita perjalanan bisa menjadi hadiah istimewa setiap kembali
pulang.
Lantas
ada yang bertanya, mengapa harus Roma yang pertama di bukukan?
Inilah jawabnya.
Saat masih duduk dikelas tiga sekolah dasar, saya tergila-gila
ingin menjadi seorang guru geografi. Kegemaran melihat peta, atlas, globe, dan
berbagai macam rupa adalah penyebabnya. Hingga menjelang masa putih abu-abu
berakhir, sebuah cita-cita “gila” pun dicanangkan, “Saya ingin menjelajah
dunia” karena melihat dari peta saja tak cukup. Dunia teramat luas jika sebatas
hanya diingat dalam angan. Sebuah cita-cita yang teramat naif memang, bagi
seorang bocah ingusan dari daerah pelosok lembah Bukit Barisan Sumatera.
Ketika Transit di Doha, Qatar tetap menulis selagi bisa |
Salah satu kota dari sekian banyak tempat di dunia yang ingin
kulihat dengan nyata adalah Roma. Kota dengan sejuta pesona akan peninggalan
bangunan klasik nya. Orang-orang yang mencintai sejarah, arsitektur, dan budaya
tentu saja tak boleh melupakan kota ini sehingga kucanangkan ia menjadi tempat
pertama yang akan kusinggahi di benua Eropa.
Dari Roma, perjalanan akan
kulanjutkan menuju kota-kota lain di Eropa, menjelajah layaknya Ibnu Batuta,
Marcopolo, Alexander Agung, dan para penjelajah dunia lainnya dalam buku-buku
yang pernah kubaca. Tetapi, tentu saja itu semua masih hanya sebatas impian
yang fana kawan.
Namun saya yakin, tak ada gunung yang tak mungkin didaki, tak ada
laut yang tak mungkin diseberangi. Bermodal tekad, semangat, do’a, dan usaha,
saya yakin bahwa Allah pasti akan mendengar do’a-do’a.
Sekilas Foto lanjalan di Rome |
Hingga ketika masa
kuliah satu persatu impian pun tercapai. Mulai dari ingin fokus di bidang
Lanskap Budaya hingga bisa merasakan pergantian musim di beberapa negara
semenanjung Asia. Singapura, Malaysia, Korea Selatan, hingga Jepangpun akhirnya
bisa terjejaki satu persatu. Gemuruh hatipun bertanya, lantas kapan saya akan
sampai di Roma?
April 2013, Allah pun menjawabnya. Melalui karya tulis ilmiah yang dibuat bersama dua orang rekan, kami pun
diundang untuk ikut hadir
mempresentasikan ide kami dalam sebuah forum internasional yang juga
dihadiri oleh berbagai mahasiswa dari penjuru dunia di Roma. Dari sinilah, buku
ini akhirnya bisa terangkai dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang.
Butuh
waktu tiga tahun lamanya untuk merekam dan menulis kembali bait-bait kenangan
selama di Roma. Telah mengalami berpuluh kali pergantian alur dan konsep cerita
sehingga layak untuk dibaca. Telah mengalami berpuluh kali penolakan dari
penerbit hingga akhirnya saya tersadar bahwa proses menulis sama halnya dengan
proses menggapai cita, butuh waktu dan tekad kuat yang membara untuk
menggapainya.
Buku ini, selain berisi tentang catatan perjalanan selama di Roma, juga dilengkapi dengan beberapa tips
panduan merencanakan perjalanan murah meriah, tips backpacking ala
mahasiswa, serta berbagai informasi menarik lainnya tentang kota Roma. Semua
itu berasal dari pengalaman perjalanan yang dilakukan sendiri dan juga dari
beberapa sumber terpercaya. Bukankah sebuah pengalaman tak akan ada artinya
jika tidak diceritakan lantas bermanfaat untuk orang banyak?
Akhir kata, terlepas dari masih banyaknya kekurangan, semoga ada
banyak manfaat dan hikmah yang bisa di petik dalam buku ini, dari perjalanan
langkah seorang manusia yang ingin terus mengukir jejak di alam semesta. Karena
perjalanan ini dilakukan pada tahun 2013 yang lalu, mungkin saja sudah banyak
perubahan data-data yang terdapat di buku ini. Kritik dan saran, sangat
diharapkan untuk perbaikan yang lebih baik di masa mendatang.
*bersambung