Thursday, January 1, 2015
Kami akhirnya memulai perjalanan
pukul 3.30 pagi. Memaksa diri untuk bangun dan bersiap-siap melakukan
perjalanan pagi hari menuju puncak Prau. Mas Dolen yang sudah pernah mendaki
Prau sebelumnya menjadi pemimpin perjalanan. Di awal perjalanan, kami sempat
salah arah jalan. Di persimpangan, seharusnya kami melalui jalur kanan, namun
kami tetap lurus mengikuti jalan yang lebih lebar hingga sampai di Candi
Drawati. Kami akhirnya memutuskan untuk berbalik ke belakang, aku mnegikuti mas
Dolen dan mba Indah karena sudah terlanjur berada di tengah perkebunan untuk
melalui jalur pintas. Sedangkan Fauzi dkk berbalik ke belakag. Untuk memutar ke
jalan utama.
Hampir setengah jam berjalan, aku
memutuskan untuk berbalik ke belakang, mencari rombongan yang tak kunjung
datang. Cahaya senter pun tak terlihat sama sekali, di depan mas Dolen sudah
jauh meninggalkan sementara di belakang tak ada sama sekali tanda-tanda
kehidupan. Menyisakan aku sendiri yang berdiri dalam gelap, sunyi, sepi, di
kaki pegunungan seperti ini apapun bisa saja terjadi. Sepintas,aku merasa bulu kuduk
ku berdiri, merinding kalau-kalau saja ada binatang buas atau makhluk lain yang
datang tiba-tiba menerjang. Aku mempercepat langkah, menuruni petak demi petak
tanah yang mendadak menjadi tangga pendakian. Sementara hujan pun turun kembali
memamerkan sisa-sisa rintiknya yang berseri.
Aku hampir menyerah, di pertigaan
tempat pertama memulai perjalanan, aku tidak menemukan siapa-siapa, aku
berfikir nampaknya mereka melalui jalan yang berbeda karena hilang tanpa jejak.
Aku pun sudah memikirkan kemungkinan terburuk, jikalau tidak mungkin mengejar
rombongan mas Dolen yang sudah jauh berada di depan. Maka kemungkinan nya
adalah aku akan menunggu saja di pos pendakian menanti esak hari waktu mereka
akan turun. Aku memutuskan untuk pulang kembali ke base camp dengan sisa-sisa
semnagat yang ada.
Ditengah keputusasaan itu, akhirnya
aku melihat bayangan kerlap kerliip dari kejauhan, samar-samar cahaya itu
berasal dari tengah sawah, kupikir mungkin itu hanya cahaya kunang-kunang namun
setelah kulihat lebih dekat ternyata itu adalah cahaya dari lampu senter Dessy.
Aku pun mendekat seraya berucap syukur, akhirnya bisa kembali bertemu dengan
rombongan. Kami melanjutkan perjalanan sedikit demi sedikit hingga akhirnya
bisa bersua kembali dengan mas Dolen dan mba Indah yang ternyata sudah menunggu
di pos pendakian 1.
Trek pendakian cukup terjal di
awal-awal, namun akhirnya sedikit lebih landai hingga menuju pos pendakian 2.
Menapaki akar-akar pohon, jalanan tanah, becek bekas hujan, dan hutan pinus
yang terasa menyegarkan. Di kejauhan terlihat kerlap kerli[ lampu kota yang
samar-samar memancarkan auranya tersendiri ditengah kegelapan malam, kecil
namun memikat.
Pukul 6.30 kami akhirnya sampai di
puncak 1 yaitu di menara repeater. Dari bawah, menara ini memang menjadi patokan
kami agar terus berjalan hingga akhirnya bisa sampai ke atas puncak. Kami pun
akhirnya menunaikan shalat subuh yang tadi tertinggal. Di puncak gunung ini aku
merasa sangat kerdil sekali, bagai setitik kecil makhluk yang bergerak di
antara luasnya bumi. Pemandangan di bagian barat, utara, timur maupun selatan
terlihat dengan jelas. Garis pantai nampak membelah cakrawala menjadi dua. satu
beralas daratan dan samudra, satu lagi beratap kana wan yang perlahan bergerak
kian menebal.
Dari ufuk timur, mentari pagi muncul
dengan semburat cahaya kuning keemasan yang mulai memedar di kaki langi, indah
sekali. Di sebelah selatan, Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing terlihat gagah
menjulang, dilingkari awan putih yang mengitari puncaknya. Sinar matahari pagi
terlihat keemasan berpadu dengan putih awan yang nampak bergerak dengan lembut.
Sementara di bagian barat dan utara, bukit berundak-undak dengan pepohonan
hijau akan memanjakan mata, di bawah sana juga nampak dengan jelas Dataran
Tinggi Dieng yang mempesona itu. Sungguh suatu karunia yang sangat luar biasa
bisa melihat pemandangan alam yang menggugah hati.
Gunung Prau secara administratif masuk
ke dalam wilayah Kabupaten Kendal, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Batang dan
Kabupaten Banjarnegara. Merupakan salah satu puncak di Dataran Tinggi Dieng
selain Gunung Sipandu, Gunung Pangamun-amun dan Gunung Juranggrawah.. Gunung
ini memanglah tidak setenar gunung-gunung yang ada di sekitarnya seperti
Sindoro, Sumbing, Ungaran, Slamet dll akan tetapi gunung yang memiliki
ketinggian 2565 mdpl ini ternyata punya keindahan dan keunikan tersendiri yang
membuatnya berbeda dari gunung lainnya di Jawa Tengah.
Salah satu gambar pendaki dari google, sayangnya kabut putih menyelimuti sehingga kami tidak menikmati pemandangan seperti ini
Walaupun dengan ketinggian yang tidak
sampai di atas 3000 namun tetap saja gunung ini memiliki kesan tersendiri di
hati. Bagaimana tidak, di puncak gunung inilah untuk pertama kalinya aku
menemukan hamparan rumput yang sangat luas, berbeda halnya dengan puncak
gunung-gunung lainnya seperti Gunung Kerinci, Pangrango maupun Gunung Gede. Di
puncak gunung ini kita akan bertemu dengan hamparan rumput berbunga juga
bukit-bukit kecil yang dinamai bukit teletubies karena bentuk nya yang hampir
serupa. Bergunduk-gunduk besar-kecil juga berselimut tumbuhan berbunga mungil
berwarna putih.
Nepenthes,
Cantigi, beserta tanaman-tanaman lainnya benar-benar
memanjakan mata. Itulah yang kami rasakan ketika menyusuri bukit teletubies. Hanya
terdapat beberapa pohon saja yang tumbuh sehingga sedikit saja tempat untuk
berteduh jika datang di musim kemarau. Menurut cerita dari pak Hartadi kemarin ketika
di Mini bus menuju Dieng yang menjelaskan padaku dengan semangatnya bahwa ada
sebuah mitos tentang keberadaan pohon di tengah sabana bukit teletubies ini. Konon,
pohon tersebut memiliki bentuk mirip dengan segi empat. Jika ada seseorang yang
masuk kedalam segi empat tersebut maka orang tersebut tidak akan bisa keluar
lagi. Entah benar atau tidak, yang pasti
puncak prau memang mempesona setiap insan yang datang berkunjung, ia tidak
hanya cantik di musim kemarau dengan pemanadangan cerah membentang namun juga
eksotis ketika musim hujan dimana kabut tebal menutupi seluruh permukaan.
Kami
pun akhirnya mendirikan tenda di salah satu bukit yang tinggi agar bisa melihat
pemandangan dengan jelas, namun sayangnya kabut putih kian menebal sehingga
daratan tak lagi terlihat. Hanya menyisakan warna putih yang terhampar luas.
Selain kami, juga terdapat beberapa pendaki lain yang juga mendirikan tenda.
Biasanya puncak Gunung Prau ini akan sangat ramai ketika malam minggu, bisa
lebih dari dua ribu orang yang mendirikan tenda. Namun saat ini kami menikmati
puncak ini dengan khusuknya hanya berlima, di bawah tenda kuning yang baru saja
berdiri, menahan dingin dan sesekali menahan lapar yang mulai datang.
Terkadang, “Adakalanya keindahan itu
berawal dari kedinginan dan menghiraukan ketinggian" begitu yang
sering diucapkan Fauzi pada kami.
***
Dataran tinggi Dieng adalah dataran
dengan aktivitas vulkanik di bawah permukaannya, maka tak heran jika terdapat
banyak sekali kawah sebagai tempat keluarnya gas dan berbagai material vulkanik
lainnya. Di sepanjang perjalanan tadi, aku melihat banyak sekali kepulan
asap-asap putih dari puncak bukit yang berbeda. Selain kawah, juga terdapat
banyak danau-danau vulkanik ataupun berbentuk telaga yang berisi air bercampur
belerang sehingga memiliki warna khas kuning kehijauan.
Sayangnya, aku hanya bisa melihat
pemandangan indah Dieng dari puncak Prau ini hanya sebentar sebelum kabut
menyelimuti, namun kekaguman tentu saja untuk semua ciptaan Allah karena
panorama alam di waktu kabut putih ini pun jarang-jarang bisa kutemukan di
puncak lain nya. Setiap puncak menyimpan cerita tersendiri, menyimpan kenangan
tersendiri.
Dinginnya puncak Prau memaksa kami untuk
tertidur pulas di dalam tenda, dan mendapati diri terbangun ketika pukul dua
siang. Hujan juga masih turun sehingga kami tak dapat melakukan banyak hal
selain tetap berada di dalam tenda. Namun akhirnya kami memutuskan untuk pulang
karena tidak ingin terjebak dingin lebih lama. Mas Dolen sudah turun duluan,
sehingga kami berjalan hanya mengikuti jalan yang terlihat.
Kabut yang sangat pekat benar-benar
menghalangi pandangan, sehingga kami tak dapat melihat jalan yang tadi pagi
kami lalui. Aku pun merasa bahwa jalan yang saat ini kami tempuh salah, tidak
seperti jalur yang tadi pagi kami lewati. Dan dugaan ku pun benar, kami
tersesat. Namun kami tak ingin berpusing ria, yang ada dalam pikiran kami
hanyalah satu, yaitu segera sampai di pos pendakian manapun dengan cepat.
Perjalanan pun kami lanjutkan, mengitari sisi bukit yang berbeda arah.
Setelah hampir dua jam berjalan, kami
akhirnya sampai di sebuah perkebunan yang sangat luas, kentang, kubis, semuanya
terlihat tumbuh dengan subur. Sangat hijau dan asri. Kabut putih pun berangsur
mulai pergi sehingga pemandangan rumah-rumah penduduk di bawah sana terlihat
dengan jelas.
Kami sampai di gerbang masuk pendakian
tepat di sebuah rumah makan “Warung Ndeso”. Berniat ingin menumpang shalat dan
makan, kami ditawari oleh penghuni rumah untuk menginap. Rendacana awal kami,
sore ini kami akan langsung menuju Sikunir untuk kembali mendirikan tenda
disana, namun tawaran pemilik rumah tak bisa kami tolak. Pak Hatrodi namanya,
yang terus menggoda kami agar menginap saja di rumahnya untuk malam ini dan
besok pagi ia akan mengantar kami ke Sikunir. Karena jarak dari Dusun Kalilembu
menuju Sikunir ini cukuup jauh, setengah jam dengan berkendaraan, dan tentunya
bisa berjam-jam jika berjalan kaki.
Setelah merapikan semua barang bawaan,
kami pun menyantap makan siang sekaligus makan malam buatan ibu Yoyo dengan mie
rebus disertai teh manis hangat yang sangat memikat. Dingin malam pun kami
lalui dengan mengobrol bersama penghuni rumah dengan tungku perapian yang
menghangatkan. Rumah sederhana pak Hatrodi dan ibu Yoyo ini terasa begitu
lapang dan luas karena keramahan dan kebaikan hati mereka.
*Bersambung