Sunday, January 4, 2015
Legenda
Kawah Sikidang
Kawah Sikidang
Setelah puas memandang Gunung Sindoro
dan pemandangan alam lainnya dari Puncak Sikunir, kami melanjutkan perjalanan
menuju Kawah Sikidang. Perjalanan menuruni bukit ini agak terasa cukup lama
karena harus menunggu pengunjung lain yang juga sedang turun. Beberapa malah
dengan muka tanpa bersalah berfoto ditengah jalan sedangkan antrian turun
dibelakang sudah cukup panjang. Anak tangga yang masih dibaluti dengan tanah
basah ini membuat tiap langkah harus ditempuh dengan hati-hati.
Perjalanan
menuju Kawah Sikidang dimanjakan dengan panorama alam Dieng yang mempesona.
Beberapa ibu-ibu terlihat sedang berjalan menuju kebun mereka sambil membawa
tas dan jinjingan. Di kejauhan, terlihat juga rumah-rumah penduduk desa yang
berundak-undak dan saling berhimpitan dengan perbukitan nan hijau. Juga tampak
menara repeater yang kemarin kami daki. Puncak Gunung Prau yang terlihat
panjang menyerupai bentukan perahu, sehingga banyak juga yang menyebutnya
Gunung Perahu.
Keberadaan
Kawah Sikidang dengan uap panasnya yang membentuk asap putih yang menari-nari
di tiup angin memang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang datang.
Kami sampai di Kawah Sikidang sekitar pukul tujuh pagi. Asap yang mengepul
cukup tinggi. Kami masuk melalui jalur belakang yang jarang di tempuh
orang-orang. Menurut Pak Hartodi, agar lebih dekat dan tidak terlalu jauh
berjalan. Kami yang belum mengetahui sama sama sekali pun hanya menuruti kata beliau. Pipa-pipa saluran gas terlihat
cukup banyak disana-sini hingga sampailah kami disekitar kawah, bau belerang
yang cukup menyengat pun langsung menyerbak. Sehingga sangat diperlukan masker
atau apapun yang bisa menutupi sepaaro wajah agar tidak mencium bau menyengar
belerang.
Disekitar
kawah juga terdapat banyak penduduk lokal yang berjualan, mulai dari bunga
edelweiss yang di warnai, makanan tradisional, jagung, hingga batu-batu
belerang. Banyak juga yang membawa anak mereka yang masih bayi untuk berjualan,
ketika kutanya apa alasan mereka ibu-ibu penjual belerang menjawab tidak ada
pilihan lain, jika tidak dibawa berjualan lantas tidak ada tempat untuk
menitipkan anak. Padahal bau belerang di Kawah Sikidang ini sangat kuat.
Kawah
Sikidang ini diperkirakan terbentuk dari
letusaan Gunung Purba Dieng ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu sehingga
mengalami dislokasi dan mengakibatkan terbentunya kawah yang masih ada hingga
sekarang. Beberapa lubang besar dengan kepulan asap yang ttidak terlalu tebal
menyambut kami ketika baru saja memasuki area Kawah Sikidang. Menurut pak
Hartadi, lubang-lubang tersebut merupakan kaah pada masa lalu sedangkan kawah
utama berada cukup jauh dari pintu masuk, kira-kira sekitar 1 kilometer
jaraknya untuk menuju kawah utama. Pak Hartadi yang juga masyarakat asli Dieng
ini juga menjelaskan bahwa kawah-kawah kecil yang ada disini juga diperkirakan
bisa saja suatu saat menjadi kawah utama menggantikan kawah yang ada saat ini.
Asal
usul nama Kawah Sikidang ini pun tidak terlepas dari sifat kawah utama yang
sering berpindah-pindah sehingga diberi nama “Sikidang” yang berasal dari kata
“Kidang” yang berarti Kijang. Dinamakan demikian karena kawah yang
berpindah-pindah dimaknai seperti seekor kijang yang senang melompat
kesana-kemari. Kawah Sikidang, seperti halnya tempat-tempat lain tak lepas dari
legenda yang melekat dan diceritakan secara turun temurun di masyarakat. Kawah
Sikidang menurut legenda yang berkembang, berasal dari kisah pernikahan antara
pangeran Kidang Garungan dengan Putri Shinta Dewi. Putri Shinta Dewi merupakan
seorang putri yang cantik jelita pada masa itu yang tinggal di daerah Dieng.
Mengetahui
kecantikan sang putrid tersebut maka datanglah silih berganti pangeran-pangeran
yang hendak mempersunting sang Putri menjadi seorang istri. Begitupun yang
dilakukan oleh pangeran Kidang Garungan, ia adalah seorang pangeran yang kaya
raya, serta mempunyai tubuh besar dengan kesaktian yang tidak diragukan lagi.
Sang Putri yang sebelumnya belum pernah bertemu dengan pangeran langsung
mengiyakan karena semua syarat yang ia minta telah dipenuhi oleh sang pangeran.
Namun alangkah terkejutnya sang Putri ketika bertemu langsung dengan pangeran
yang ternyata bertubuh manusia namun berkepala kidang (Kijang).
Putri
akhirnya tidak dapat menerima bahwa pangeran Kidang yang akan menjadi suaminya,
maka iapun mengajukan syarat tambahan kepada sang Pangeran apabila dapat
membuat sumur yang besar dan dalam dalam sehari maka barulah ia akan bersedia
menikahinya. Sang pangeran pun menyanggupinya, dengan kesaktian yang ia punya,
sumur yang digali pun sedikit demi sedikit pun hampir selesai.
Mengetahui hal itu,
sang Putri yang tidak ingin pangeran dapat menyelesaikan sumurnya, sang Putri
meminta bantuan tentaranya dan memutuskan untuk mengubur pangeran Kidang
Garungan ketika menggali sumur dengan cepat. Sang pangeran yang mengetahui hal
ini pun marah dan membuat sumur tersebut meledak, namun ia masih tidak dapat
keluar dari sumur karena terus ditimbuni tanah. Akhirnya, sebelum tewas, sang
pangeran mengutuk keturunan sang putri berambut gembel/ gimbal. Dari cerita
inilah terjadi Kawah Sikidang dan munculnya anak-anak berambut gimbal di Dieng.
Anak
Gimbal : Si Raja Kecil Tanpa Mahkota
Dari Kawah
Sikidang, kami melanjutkan perjalanan menuju Telaga Warna. Di perjalanan aku
melihat beberapa anak yang sedang berjalan dengan rambut gimbal. Namun
sayangnya, aku tidak dapat berhenti untuk sekedar bercengkrama atau berfoto
dengannya. Fenomena anak berambut gimbal ini sudah menjadi hal yang biasa bagi
masyarakat Dieng. Namun bagi kami yang hidup jauh dari daerah ini, tentunya
menjadi sebuah pemandangan yang unik dan luar biasa.
Anak-anak gimbal ini
diibaratkan seperti seorang raja yang semua keinginannya harus dikabulkan
hingga nanti ketika sampai waktunya rambut gimbal tersebut akan di potong.
Rambut gimbal ini tidak akan selamanya ada di kepala si anak, karena jika
dibiarkan hingga remaja maka dipercaya akan membawa musibah bagi si anak dan keluarganya.
Rambut itu akan dipotong ketika si anak telah memintanya, dan waktu pemotongan
itu haruslah si anak yang menentukan, karena jika tidak walaupun dipotong
berapa kali pun rambut gimbal itu akan tetap terus tumbuh dan tumbuh.
Pemotongan melalui serangkaian
prosesi, dan ada setiap bulan agustus atau Sura dalam tanggal Jawa akan
diadakan suatu prosesi di kompleks Candi Arjuna Dieng dan anak-anak gimbal
dipotong rambutnya oleh pemuka adat dengan terlebih dahulu akan dimandikan
dengan air dari tujuh mata air kemudian akan dilemparai beras kuning dan uang
koin. Namun prosesi ini tidak semua diikuti oleh anak-anak berambut gimbal.
menurut pak Hartodi, beberapa keluarga juga bisa saja melakukan prosesi sendiri
karena tidak tega melihat anak harus memakai ikat kepala putih dan selendag
dari kain mori yang biasanya digunakan untuk membungkus mayat.
Raja-raja kecil tanpa
mahkota ini dianggap sebagai anak pembawa keberkahan dan keberuntungan bagi
keluarganya. Walaupun anak-anak gimbal cenderung lebih aktif dan agak nakal
jika bermain dengan sesame anak gimbal, karena sering terjadi pertengkaran
diantara mereka. Dieng sebagai tanah yang dipercaya tempat bersemayamnya para
dewa, berbagai kisah maupun legenda dan mitos yang ada masih sangat melekat
dalam kehidupan masyarakatnya. Masyarakat Dieng percaya bahwa rambut gimbal
anak-anak tersebut dijaga dan dihuni oleh makhluk gaib dan anak-anak ini
merupakan titisan atau keturunan dari leluhur pendiri Dieng.
Terlepas dari semua
mitos-mitos dan legenda yang ada, yang pasti keberadaan anak-anak gimbal ini
membuatku sangat tertarik untuk tinggal lebih lama di Dieng, keramahan
masyarakat serta murah senyum tersebut membedakan wisata ini dengan daerah lain
yang pernah ku kunjungi. Namun hari ini, adalah hari terakhir kami di Dieng,
sebelum pulang kami melanjutkan perjalanan menuju Telaga Warna dan Candi Arjuna
sebagai penutup perjalanan kam. Suatu saat nanti aku akan kembali, dan tak
sabar ingin segera bersua lebih lama lagi dengan anak-anak kecil sang raja
tanpa mahkota ini.
Full team #Plenyek (Fauzi-Dessy-Erma-Yoni-Kautsar)
*Bersambung