Saturday, December 13, 2014
Backpacker,
Dieng,
Holiday,
Out of Season,
Pendakian Prau,
Prau,
Purwokerto,
Teater Dieng,
Wonosobo,
Di
sepanjang perjalanan, aura Dieng sudah mulai terasa ketika minibus mulai
menanjak,hawa dingin yang menyerbak, hamparan kebun petani yang nampak subur
juga persawahan yang saling bertumpuk diantara bukit-bukit yang saling
bertindih. Semakin tinggi, aura dingin semakin terasa, kabut putihpun
menyelimuti permukiman penduduk hingga akhirnya sama sekali tak terlihat. Semua
berubah menjadi putih, bagai sedang berjalan menembus negeri di atas awan.
Plenyek team edisi lengkap, Dessy, Erma, Fauzi, Yoni, Kautsar
Dataran Tinggi Dieng merupakan dataran
tinggi tertinggi kedua didunia setelah Tibet / Nepal, dan ia juga menjadi dataran
tinggi terluas di Pulau Jawa. Berada
pada ketinggian 6.802 kaki atau 2.093 m dpl maka tak heran jika pada musim
kemarau yang berkisar antara bulan juli-agustus suhu dapat mencapai angka 00C
dan pada pagi harinya embun pun dapat membeku. Peristiwa ini oleh masyarakat
setempat dinamai bun upas (embun racun) karena menyebabkan kerusakan pada hasil
pertanian mereka. Sedangkan pada bulan-bulan lainnya, suhu di Dieng relatif
sama yaitu berkisar 15-200C di siang hari dan 100C di
malam hari. Maka tak heran jika hampir semua warga mengenakan jaket jika
beraktivitas di sini. Begitupun dengan yang ku lihat di mini bus ini, semua
menggunakan jaket tebal. Sedangkan kami, nampaknya terlalu tak sadar diri
karena masih tahan dengan sehelai kaos yang melekat di badan.
Dieng berasal dari kata “di” yang
berarti tempat/ gunung dan “Hyang” yang berarti Dewa. Sehingga Dieng dapat
diartikan sebagai sebuah kawasan di daerah pegunungan yang merupakan tempat
bersemayamnya para dewa. Nama Dieng sendiri diperkirakan berasal dari bahasa
Sunda karena sekitar tahun 600 masehi daerah ini berada dalam pengaruh politik
kerajaan Galuh. Dieng dahulu bukan hanya menjadi ibukota kerajaan namun juga
menjadi pusat pemerintahan, spriritualitas dan peradaban. Dataran Tinggi Dieng
sendiri secara umum terbagi menjadi dua wilayah administrasi yaitu Dieng Kulon
yang masuk ke Kabupaten Banjarnegara dan Dieng Wetan yang masuk wilayah
Kabupaten Wonosobo.
Pukul 5.30 kami akhirnya sampai di pos pendakian Prau Desa Patak Banteng,
rombongan Indramayu turun, disinilah kami berpisah. Rombongan yang aku belum
tahu nama nya ini akan mendaki Prau malam ini melewati jalur Patak Banteng,
sementara kami akan melanjutkan
perjalanan ke jalur pendakian Dieng Kulon. Ada banyak jalur pendakian untuk
mencapai puncak Prau dengan trek yang berbeda satu sama lainnya, jalur
pendakian Patak Banteng terkenal lebih terjal namun lebih cepat dan pemandangan
yang disuguhkan pun memanjakan mata jika mendaki di siang hari, karena akan
terlihat lanskap Desa Patak Banteng dan desa-desa lainnya yang berbukit-bukit
dari kejauhan sana.
Kami memilih jalur pendakian Dieng
Kulon karena selain jalannya tidak begitu terjal, kami juga harus menyewa satu
tenda terlebih dahulu. Sekitar pukul tujuh malam, kami berangkat memulai
perjalanan menuju puncak Gunung Prau, namun tiba-tiba hujan turun membasahi
bumi dengan cepatnya tanpa ada gerimis sama sekali sehingga kami memutuskan
untuk menunggu hujan reda sembari makan malam nasi goring di pinggiran jalan.
Dieng yang malam ini sepi, bertambah
sunyi karena dingin yang memaksa orang-orang untuk betah berlama-lama di rumah
masing-masing, hujan yang tak kunjung henti ditambah dengan petir yang kian
menggelagar membuat kami harus berpikir berulang kali apakah akan tetap
melakukan perjalanan saat ini. Ditengah memikirkan segala kemungkinan, di
warung nasi goreng ini kami bertemu dengan sepasang kekasih yang malam ini juga
akan berangkat menuju Prau. Sebut saja namanya Mas Dolen dan Mba Indah Kami pun
kemudian merencanakan perjalanan bersama setelah hujan reda.
Karena terjebak hujan deras yang
hampir semalaman, kami memutuskan untuk menginap di pos pendakian base camp
Dieng Kulon Dwarawati. Lama bercakap-cakap dengan penghuni base camp seraya
menghangatkan diri dengan tungku perapian, satu persatu diantara kami pun
tumbang. Berusaha memejamkan mata, ditengah suasana angin malam yang sangat
dingin dalam pekat, dalam jelaga, semua bersatu dalam semu.
***Bersambung