Thursday, October 2, 2014
Mengunjungi
kawasan konservasi Masigit Kareumbi, belum lengkap rasanya jika tidak singgah
sejenak di Curug Cinulang. Selain karena memang berdekatan, kedua lokasi ini
juga mempunyai keunikan tersendiri sehingga sangat harus dikunjungi ketika
berkunjung ke Bandung Timur. Ibarat sebuah paket yang saling melengkapi, jika
Masigit Kareumbi memanjakan mata dengan suasana asri, hijau, dan rindang.
Maka, Curug Cinulang akan memberikan panorama alam berbeda. Keindahan
yang terpancar begitu mempesona dan berwana.
Kekaguman
tidak hanya pada derasnya butir air putih menggumpal serupa salju yang
terhempas lalu menguap ke udara dari bebatuan hitam di bawahnya, tetapi juga
pada tebing berwana kuning kecoklatan dengan akar-akar pohon yang menjalar.
Berpadu dengan hijau lumut yang menempel mesra di tebing-tebing yang ketika
diterpa sinar matahari akan terlihat lebih tajam dan menyala memancarkan inspiring beauty bagi siapapun yang
melihatnya.
Setelah
puas mengelilingi kawasan konservasi Masigit Kareumbi, seolah tak ada alasan
bagi kami para peserta Ekspedisi Mata Angin 2014 untuk tidak berhenti di curug
yang keindahan dan gema suaranya sudah terdengar dari jalan raya. Perjalanan dari
Masigi-Kareumbi turun hingga sampai di pintu masuk curug Cinulang ditempuh
selama 15 menit atau lebih cepat 16 menit ketimbang perjalanan mendaki dari
pintu masuk Curug Cinulang menuju Masigit Kareumbi yang ditempuh selama 31
menit.
Melewati
jalanan perkampungan yang begitu tenang, anak-anak terlihat sedang berlari
riang diantara selasar rumah yang berhadapan dengan jalan yang tidak begitu
besar. Setelah memarkir mobil express
across nation yang mengantar kami, kami segera memasuki sebuah gerbang
penyambut tamu bertuliskan “Selamat Datang di Objek Taman Wisata Curug
Cinulang”. Disamping gerbang, terdapat sebuah pos penjagaan yang terbuat dari
kayu yang hanya berukuran 2 X 2 meter.
Untuk
masuk ke taman wisata curug Cinulang ini setiap orang dikenakan biaya Rp 5.000,
sedangkan untuk parkir Rp 10.000 per mobil. Dipinggir jalan sebelah pintu masuk
terdapat beberapa warung yang menjual gorengan serta makanan dan minuman lainnya.
Didalam kawasan taman wisata, juga terdapat penjual siomay dan bakso menjajakan
dagangan mereka dipinggir warung.
Pesona Pelangi Cinulang
Tidak sulit untuk bisa sampai di kaki curug ini,
karena telah disediakan undak-undakan dari tanah dan beton serupa anak-anak
tangga yang disetiap sisi bagian datarnya ditempati oleh warung atau
pondok-pondok kecil tempat bersantai. Beberapa jenis bunga seperti Arachis pintoi nampak bergoyang-goyang
terkena hembusan angin yang datang dari aliran curug.
Saya berhenti sejenak di sebuah
pondok kecil disebelah warung yang menghadap ke curug untuk menyaksikan nya
dari atas, sedangkan teman-teman AICT lainnya terlihat beberapa sudah sampai di
kaki curug dan bersiap-siap mengambil posisi terbaik untuk mengambil gambar. Saya
membeli cilok lima potong dengan harga Rp 5000, cukup membantu menghangatkan
tubuh yang sedari tadi mulai dihinggapi dingin. Suasana curug semakin rome
semakin ramai, umumnya pengunjung yang datang adalah sepasang muda-mudi dari
berbagai usia yang sedang memadu kasih, ada juga sebuah keluarga yang terlihat
sedang memulai menyantap bekal perjalanan mereka di pondok kecil pinggir
sebelah tangga.
Tidak
afdhol rasanya, jika ke curug tanpa merasakan dinginnya air secara langsung.
Melewati sebuah jembatan bambu dan merayap diantara tebing-tebing seraya
berpegangan pada batu. Ketika menyentuh air, tangan terasa membeku. Namun
langsung terbayar dengan segarnya yang luar biasa. Uap air juga berhembus
begitu cepat sehingga seluruh tubuh basah seketika. Perlahan, dibalik bongkahan
batu-batu muncul lah pelangi dengan segala keelokannya melingkar kecil dari
ujung ke ujung. Timbul dan tenggelam memamerkan keindahan warnanya
berseri-seri. Cahaya matahari pun tiba-tiba menyeruak dari balik pohon dan
memedarkan kemilau emas yang terpantul diantara riak-riak curug. Pelangi sore
ini melengkapi keindahan alam Bandung timur yang masih jarang terjamah.
Curug
dengan ketinggian sekitar 40 meter ini mempunyai dua debit yang berbeda.
Tumpahan air dari curug sebelah kiri mempunyai debit cukup tinggi dan berlapis-lapis
memainkan uap yang mengambang sedangkan curug bagian kanan mempunyai debit yang
cukup rendah.
Terpukau Senja di Padang Ilalang
Menjelang pukul lima petang, kami
akhirnya memutuskan untuk beranjak pulang. Dan lagi-lagi, kami tak tahan untuk tidak
berhenti menyaksikan senja di ufuk barat yang kilaunya begitu menggoda masuk
menyelinap diantara ruang-ruang kecil di mobil. Rombongan anak muda terlihat
sedang bermain sepakbola , sedangkan muda-mudi lainnya menghabiskan waktu
dipinggir jalan menikmati semilir angin bersama senja yang mulai memedar
tahtanya di kaki langit.
Saya kemudian menuju padang ilalang
yang berada di sebelah kanan jalan raya, dibawahnya tergambar jelas petak demi
petak sawah, jalan raya seperti garis lurus, serta orang-orang yang berjalan
terlihat sangat kecil. Saya menghabiskan banyak waktu disini, duduk sejenak.
Menikmati detik demi detik hirupan nafas. Mengagumi keindahan alam tuhan sang
pencipta semesta raya yang tercipta di Bandung timur yang begitu indahnya.
Disepanjang
perjalanan pun, alam nan indah menyertai kami lewat hamparan sawah terasering berwarna hijau yang
menjadi pencuci mata sekaligus pembawa nostalgia pada cerita kakek nenek
tentang indahnya alam di tanah Pasundan.
Penasaran
dengan segala surga dunia di Bandung timur? Kemas barangmu sekarang dan
berangkatlah, sekarang !