Friday, October 17, 2014
“Sebelum
masuk surga di akhirat, hendaklah terlebih dahulu mencicipi surga di muka bumi”
Ada
banyak surga di muka bumi, setidaknya begitulah pepatah lama berujar. Dari
sekian banyak manusia di muka bumi ini, ada berbagai jenis definisi surga yang
dapat diinterpretasikan sesuai sudut pandang masing-masing. Dan salah satu
surga yang dapat di temukan di Alam Kerinci adalah bentang alamnya yang terdiri
dari gugus Bukit Barisan dengan puncak tertingginya, Inderapura di Gunung Kerinci yang juga merupakan puncak tertinggi di Indonesia di
luar Papua.
Salah
satu pengalaman berharga ketika saya berada di Alam Kerinci adalah ketika
melakukan pendakian menuju puncak Gunung Kerinci. Gunung Kerinci merupakan gunung
api tertinggi di Indonesia, bagian
dari pegunungan bukit barisan ini berada dalam kawasan Taman Nasional Kerinci
Seblat. Berada pada ketinggian 3.805 meter diatas permukaan laut, gunung ini
berbentuk kerucut dengan lebar 13 km dan panjang 25 km memanjang dari utara ke
selatan dengan kawah pada bagian puncak sedalam 600 meter.
Perjalanan
ini dimulai dari Desa Baru Sungai Tutung menuju Kota Sungai Penuh. Diantar oleh
ayah dan adik, saya bersama kak Huda memulai sebuah petualangan paling nekat
tahun ini. Petualangan paling nekat dengan persiapan seadanya. Hanya
bermodalkan semangat dan tenaga yang masih menyala. Pendakian ini kami lakukan
hanya berdua, karena beberapa teman yang awalnya ingin ikut membatalkan rencana
secara sepihak. Dan jadilah kami, dua orang anak manusia dengan semangat gegap
gempita, berjalan dengan tujuan menikmati salah satu ciptaan Allah di tanah
Kerinci.
Pagi ini, jalanan cukup licin,
hujan malam tadi membuat semuanya menjadi sayu. Pagi inipun, rintik hujan masih
dengan setia bersama kami. Menari-nari kecil sebelum akhirnya melayang, dan
terhampas ke tanah. Tepat pukul tujuh
pagi, kami sudah sampai di simpang raya Pesisir Bukit. Dan tentunya, sepagi ini
sangatlah jarang menemukan angkot yang sudah memulai perjalanannya. Dan akhirnya Ayah memanggil angkot yang kebetulan
sedang mengetem di dekat Lapangan Merdeka Sungai Penuh. Tak sama seperti angkot
di Bogor yang saling berhadapan, di Kerinci angkot seperti bus dengan kursi
semuanya menghadap kedepan. Di angkot ini hanya terdapat satu penumpang
bapak-bapak yang duduk paling depan nampak sedang asyik dengan sebatang
rokoknya.
Perjalanan
pun dimulai. Selama perjalanan kak Huda terlihat sedang searching mencari
segala informasi tentang pendakian. Sementara aku memanfaatkan untuk tidur
sejenak. Dan terbangun ketika sudah sampai di pasar Siulak. Disini barulah
banyak penumpang lain yang naik dengan barang belanjaan. Perjalanan menuju Tugu
Macan di Desa Kersik Tuo memakan waktu kurang lebih dua jam dari Kota Sungai
Penuh. Namun kami sampai terlambat karena tiba-tiba angkot yang kami tumpangi
mogok karena pecah ban. Sebuah halangan pertama yang membuat kami harus
menghela nafas, karena tentunya perhitungan waktu sangat diperlukan agar bias
mencapai target sesuai jadwal.
Sesampainya
di Tugu Macan, kami menuju penginapan Paiman untuk menyewa matras serta
peralatan lain yang kurang. Beberapa pendaki terlihat sedang membereskan
peralatan menuju Danau Gunung Tujuh. Salah satu dari mereka adalah mas Iwan
yang berasal dari Jakarta. Katanya masih
ada satu kelompok pendaki yang masih di shelter tiga ketika mereka turun tadi
pagi. Mendengar kabar itu tentunya kami sedikit bahagia karena tidak akan
berdua saja di shelter tiga. Shelter tiga merupakan tempat terakhir sekaligus
menjadi pembatas tempat tumbuhnya pepohonan dan tanaman. Merupakan tempat
favorit mendirikan tenda. Setelahnya, jalan menuju puncak hanya terdapat
bebatuan khas gunung berapi. Setelah berpamitan kami pun melanjutkan perjalanan
mencari ojek di simpang menuju Sungai Tanduk yang akan membawa kami ke Pintu
Rimba. Jika ditempuh dengan jalan kaki, nampaknya jarak yang harus di lalui
cukup jauh. Dengan naik ojek saja kami sampai sekitar 15 menit. Dan tentunya
tidak ingin kehilangan tenaga lebih banyak dahulu karena belum memulai
perjalanan yang sesungguhnya.
Di pintu rimba
tak lupa kami mengabadikan foto kenangan sebelum perjalanan dan juga berdoa
meminta kemudahan langkah agar disampaikan ke tujuan. Perjalanan sesungguhnya
baru dimulai dengan menapaki jalur datar hingga sampai di pos 1. Hutan lebat
dengan dahan yang masih basah bekas hujan masih menyertai kami. Di area ini,
dikenal juga oleh banyak orang sebagai jalur perlintasan harimau. Ngeri tentu
saja, apalagi kami melakukan pendakian ini hanya berdua. Beberapa jenis
binatang lain seperti tapir, kus-kus, gajah, siamang, monyet ekor panjang,
gibbon dan berbagai jenis burung juga terdapat disini. Dari pos 1 menuju pos 2
dan pos 3 saya menemukan banyak sekali jenis tumbuhan dataran rendah seperti
mahoni dan juga tanaman lain seperti, Pohon cemara, dan Suweg Raksasa (Amorphophallus titanum). Kak Huda yang
kuliah di jurusan proteksi tanaman beberapa kali juga minta berhenti bukan
karena kelelahan namun karena ingin menangkap dan memfoto beberapa jenis
serangga dan dan kupu-kupu. Di hutan ini lah saya belajar mengenali berbagai
jenis tanaman yang dipelajari bangku perkuliahan. Tidak percuma kuliah di
fakultas pertanian.
Hawa dingin
mulai menyergap dalam perjalanan menuju shelter 1. Jarak yang sangat panjang,
membuat beberapa kali kami berhenti untuk istirahat. Sesampainya di shelter 1
kami memutuskan untuk makan siang. Menyiapkan jas hujan dan juga membuat kopi
setelah melihat hujan yang mulai turun sedikit demi sedikit. Perjalanan menuju
shelter tiga masih sangat panjang. Beberapa kali kami bertemu dengan rombongan
yang sedang dalam perjalan pulang. Nampaknya inilah rombongan yang diceritakan
mas Iwan ketika di penginapan Paiman. Pupus sudah harapan kami, membayangkan
hanya akan berdua saja di tempat belum pernah dikunjungi sebelumnya di sebuah
ketinggian bukanlah sebuah harapan yang baik.
Kami sampai di
shelter dua ketika matahari sudah benar-benar tak terlihat, digantikan oleh
hujan deras yang turun membasahi. Karena target kami harus sampai di shelter
tiga ketika senja. Maka kami pun melanjutkan perjalanan hingga shelter 3 di
ketinggian 3.320 mdpl. Dari shelter dua inilah perjalanan terasa menjadi sangat
lama dan panjang. Jalan menanjak melewati sebuah jalur yang lebih mirip seperti
sebuah terowongan air yang cukup untuk satu orang. Saya lebih memilih untuk
berjalan di dalam terowongan ini walaupun harus sering merangkak untuk memanjat
batu yang cukup licin. Sedangkan ka Huda nampaknya memilih menyusuri pinggiran
terowongan dengan berpegangan pada akar-akar tanaman. Dingin sangat terasa
menusuk, ujun jari tangan saya seperti sudah mati rasa. Sejenak say terpikir
untuk kembali kebawah dan menghentikan perjalanan sampai disini. Namun pilihan
itu tentunya bukanlah pilihan yang baik mengingat hari mulai sore.
Dengan sisa tenaga
yang ada, saya tetap berjalan selangkah demi selangkah. Tak ingin memandang
kedepan karena terasa sangat jauh. Sementara kak Huda sudah tidak terlihat
dibawah sana. Saya pun memutuskan untuk menunggu sejenak berlindung di balik
batu. Mengeluarkan permen yang diberikan ibu sebagai tambahan bekal perjalanan.
Benar kata mas Iwan, perjalanan mendaki Gunung Kerinci ini memang memberikan
tantangan tersendiri. Tantangan yang diberikan lebih berat dari gunung-gunung
yang terdapat di Pulau Jawa, termasuk Gunung Semeru yang akhir-akhir ini
menjadi idaman bagi banyak orang. Entah benar atau tidak, yang jelas saya
merasakan memang perjalanan ini sungguh mendebarkan. Saya terus berdoa selama
perjalanan agar bisa sampai kembali ke rumah dalam keadaan sehat walafiat.
Beberapa
kali saya memanggil ka Huda, dan suaranya tak juga terdengar. Saya memutuskan
untuk kembali kebawah. Takut jika terjadi sesuatu dengan rekan seperjalanan
saya satu-satunya ini. Carrier saya tinggalkan di bawah tumpukan daun-daun di
pinggir jalan agar tidak terlalu basah. Perjalanan turun memang selalu lebih
mudah, saya meluncur dan terkadang sedikit berlari agar lekas sampai. Di
perjalanan turun saya bertemu dengan tiga orang pendaki lain yang berasal dari
Kabupaten Merangin yang sedang istirahat. Saya sedikit bahagia itu berarti akan
ada tambahan rekan seperjalanan. Saya berhenti sejenak, dan bertanya apakah
mereka melihat kak Huda yang masih tertinggal di belakang. Alhamdulillah nya,
baru mereka akan menjawab. Kak Huda muncul dengan wajah terlihat sangat
kelelahan. Saya memutuskan untuk menunggu kak Huda istirahat. Sedangkan empat
orang pendaki ini melanjutkan perjalanan terlebih dahulu.
Saya
bergantian membawa carrier kak Huda yang memang lebih berat dari carrier saya
agar lekas mencapai tujuan. Hujan makin menjadi, seolah tak ingin reda hingga
kami sampai di shelter tiga. Sekitar pukul
6 sore akhirnya kami sampai di shelter ini dan langsung mendirikan
tenda. Di shelter tiga ini, nampak dua buah tenda telah berdiri. Tenda paling
ujung adalah tenda rombongan yang tadi kami temui dalam perjalanan, sedangkan
satu lagi meurut Dede salah seorang dari anggota rombongan merupakan turis dari
Polandia. Masalah kemudian datang, ditengah hujan yang sangat lebat ini, tiang
untuk tenda tiba-tiba patah sehingga salah satu ujung tenda tidak bisa berdiri
dengan baik. Ka Huda telah menyerah, dan disinilah makna perjalanan
sesungguhnya akan terlihat. Dan yang saya suka dari petualangan di alam ini
adalah manusia akan menjadi lebih peka dan saling tolong menolong. Karena
melihat tenda kami tak kunjung selesai, padahal jam sudah menunjukan pukul
tujuh malam. Keluarlah Dede dan seorang teman
nya untuk membantu. Dengan akar-akar dan ranting tanaman. Akhirnya tenda
kami berdiri juga dengan baik. Andai kata dalam kehidupan setelah nyata semua
manusia akan bersifat seperti dalam keadaan di atas gunung pastilah tidak akan
ada kesenjangan hidup di negeri yang kaya ini.
Tenda kami yang akhirnya
berdiri juga
Setelah
memasukan barang-barang ke dalam tenda. Kami bersiap untuk memulihkan tubuh
yang sudah sangat menggigil. Membuat kopi dalam tenda yang diterpa angin
kencang adalah sebuah pengalaman yang jarang-jarang saya alami. Besok pagi,
kami berencana akan summit attack bersama rombongan dari Merangin yang telah
membantu kami tadi. Berusaha untuk tidur ditengah dingin, belum lagi ternyata
kami harus menerima kenyataan bahwa tenda ini bocor dibagian bawah
sehingga tenda dipenuhi genangan air.
Sleeping bag pun basah tak terelakka. Sehingga hanya memanfaatkan sisa bagian yang
masih hangat untuk menikmati malam. Dingin, lirih. Kini hanya ada tuhan, gunung
dan tiga tenda yang berisi anak manusia di tengah hutan yang masih menyimpan
misteri di bagian puncak untuk dijejaki. Sementara malam kian merangkak pelan bertabur bintang,
berpadu dengan serau angin gunung yang tak hentinya mengusik tidur kami yang
tak terlalu lelap.
Pukul
5.30 kami terbangun untuk shalat subuh. Keluar sejenak untuk merasakan udara
dingin yang menjadi-jadi. Kami berencana untuk menuju puncak pukul 6.00 yang
akhirnya molor hingga pukul 6.30 dan memang tidak ingin mengejar sunrise di
puncak melainkan di tengah perjalanan. Sementara turis Polandia ternyata lebih
rajin dari kami dan sudah memulai perjalanan menuju puncak dari jam 5 pagi
walaupun tetap masih terhitung telat untuk menyaksikan sunrise dari puncak.
Dikejauhan terlihat Danau Gunung Tujuh yang dikelilingi oleh tujuh gunung yang
memantulkan semburat keemasan. Langit jingga kemerahan mulai menyeruak dibalik langit.
Garis horizon terpampang jelas di mata. Sebuah lukisan alam yang benar-benar
nyata. Dibelakangnya berdiri pula dengan megah berlapis lapis bukit dan gunung
yang saling menghimpit. Keindahan panorama alam ini diperjelas dengan hamparan
kebun teh dan rumah-rumah warga yang terlihat sangat kecil di bawah sana.
Saat-saat inilah
saya merasa sangat kecil di hadapan tuhan. Kecil sekali. Dan rasanya bersyukur
tak henti-henti atas semua karunia yang telah diberikanNya. Perjalanan menuju puncak
adalah perjalanan penuh haru dan mendebarkan bagi saya. Melewati lereng
bebatuan dan pasir yang membuat sendal saya sering terbenam hingga sulit untuk
berjalan. Kami berenam melangkah beriringan, sesekali berhenti untuk menunggu
yang lain agar tidak tertinggal terlalu jauh. Rasa ingin mengakhiri perjalanan
ini dengan turun kembali ke bawah terkadang muncul setelah melihat puncak yang
tak kunjung datang. Namun melihat perjalanan yang sudah sejauh ini, saya tak
ingin berakhir dengan sia-sia. Semangat dan dukungan dari rekan perjalanan baru
pun menambah energi agar tetap melangkah dan sampai di puncak.
Sesekali
kami merayap dan berlarian melompat bersembunyi kesela bebatuan atau gundukan
pasir untuk melindungi diri dari angin kencang dan pasir yang beterbangan.
Persis seperti hendak berperang. Pendakian ke Gunung Kerinci ini benar-benar
membutuhkan semangat dan motivasi tinggi untuk sampai di titik tertinggi
Andalas. Satu jam kemudian, kami sampai di Tugu Yudha yang sangat bersejarah
tersebut. Kisah perjalanan seorang pendaki yang hilang dan hingga sekarang
belum ditemukan jasadnya. Kami berhenti untuk istirahat di Tugu Tudha ini.
Sembari memantapkan hati bahwa pendakian ini memang bukanlah pendakian yang
mudah.
Mencapai puncak yang tak
kunjung sampai
Ditugu
Yudha inilah akhirnya saya dan kak Huda berkenalan dengan empat orang teman
yang kami temui diperjalanan ini. Mereka adalah Rio, Dede, Ari dan Adi. Ari
adalah pemimpin perjalanan mereka dan merupakan orang asli Kerinci berasal dari
Siulak, sementara tiga lainnya berasal dari Merangin. Mereka berempat adalah
mahasiswa SMK yang sedang PKL di Kayu Aro. Oh pantas saja jalan mereka sangat
cepat, piker saya. Ari sudah berkali-kali mendaki Gunung Kerinci, sehingga kami
merasa cukup aman menjadikan dia sebagai penunjuk arah menuju puncak. Dari Tugu
Yudha, masih terlihat satu tanjakan terakhir yang menurut Ari adalah jalan
terakhir menuju puncak. Disini bukan hanya kaki yang bekerja, namun juga tangan
dan seluruh anggota tubuh agar tetap seimbang karena pijakan berpasir kadang
membuat sangat sulit untuk bergerak.
Bersembunyi di bebatuan
Perjalanan
yang sangat menguras tenaga ini akhirnya membuahkan hasil manis. Kini saya
berada tepat di titik tertinggi pulau Sumatera yang dahulu bahkan belu pernah
saya impikan. Puncak Kerinci ini hanya terdiri dari sedikit saja lapangan datar
yang sangat sempit, disebelahnya langsung berhadapan dengan kawah sementara
sisi lainnya adalah jurang. Bau belerang yang sangat menyengat membuat kami
tidak bisa berlama-lama disini. Menikmati alam dari ketinggian 3805 meter tepat
seperti sedang berdiri di negeri diatas awan. Bagi sebagian orang mendaki
gunung dan mencapai puncaknya adalah suatu aktivitas tanpa makna dan
melelahkan. Namun disinilah sebuah sensasi dan pengalaman yang sangat sulit
diungkapkan dengan kata-kata. Disini, tidak ada yang bisa menandingi sebuah
upah pendakian selain kepuasan batin tiada tara. Mencapai puncak Kerinci
memahamkan kami akan makna hidup yang sesungguhnya, tentang perjuangan dan juga
tentang cita-cita yang tentunya tidak akan bisa diraih dengan mudah. Alam Kerinci memang mampu memikat dn menggoda para
penikmat keindahan. Bagi yang sedang menjelajah Kerinci. Melakukan pendakian ke
Gunung Kerinci tentunya adalah sebuah hal yang jangan sampai terlewatkan.
Temukan dan rasakan surga tuhan di lembah Bukit Barisan.
Puncak Gunung Kerinci dari
ki-ka (Rio-Ari-Saya-Adi-Dede)