Wednesday, August 6, 2014
Melanjutkan cerita perjalanan ketika penelitian empat bulan yang lalu. Tujuan saya selanjutnya adalah Bukit Kerman, yaitu sebuah
Kecamatan Baru hasil pemekaran dari Kecamatan Gunung Raya dan Batang Merangin
yang baru di bentuk pada tahun 2012 lalu. Setelah Zuhur, saya memulai
perjalanan dari Kota Sungai Penuh bersama Yogi, rute yang kami ambil adalah
rute mengelilingi Kecamatan Keliling Danau melewati Desa Pulau Tengah dan
beberapa desa-desa lainnya. Desa Lolo Kecil adalah tujuan utama kami.
Perjalanan dari Kota Sungai Penuh dapat ditempuh dalam waktu 45 menit.
Ketika melewati jembatan Jujun, secara tidak sengaja saya
melihat sebuah papan nama di pinggir jalan yang tidak terlalu jelas karena
tertutup daun, setelah didekati papan nama itu bertuliskan batu silindrik Jujun,
dengan jarak kurang lebih 3 km dari jalan raya tempat kami berada saat ini.
Karena penasaran, kami pun memutuskan untuk berbelok arah memasuki sebuah
lorong menuju sebuah bukit. Jalan menuju bukit ini cukup licin, terlihat
beberapa genangan air bekas hujan kemarin bersatu dengan daun yang berjatuhan.
Setelah melintasi rumah-rumah penduduk, kami melewati jalanan tanah yang masih
merah bercampur kerikil-kerikil yang cukup tajam. Kiri dan kanan jalan adalah
ladang milik masyarakat setempat, di beberapa titik terlihat juga beberapa
batang kayu yang telah dipotong siap untuk diangkut.
Jalanan yang menanjak membuat kami harus berhati-hati
agar tidak terjatuh dari motor, di beberapa bagian jalan terlihat bekas ban
motor yang tergelincir ke kiri dan terjatuh. Agaknya sebelum ini ada sebuah
sepeda motor yang telah terjatuh disini, terlihat dari bekas serpihan kaca
sepion dan tumpahan kopi. Kami akhirnya sampai di penghujung jalan setelah
menemukan sebuah tanda penunjuk lagi yang mengarah masuk ke dalam hutan.
Setelah mencari tempat menaruh motor yang cukup aman, saya akhirnya memutuskan
untuk berjalan kaki menuju situs ini, sedangkan Yogi menjaga motor di jalan.
Tanah yang becek dan sempit nampaknya juga tidak akan bisa dilalui oleh sepeda
motor. Sesuai petunjuk setelah masuk sekitar 5 meter maka berbelok ke arah
kanan. Setelah berjalan menyusuri beberapa batang bambu, saya menemukan sebuah
papan petunjuk lagi walaupun tidak terlihat begitu jelas, yang mengarah menuju
sebuah jalan setapak yang sedikit lebih bagus dari sebelumnya. Pintu pagar
terlihat sedang terkunci, namun rasa sopan saya nampaknya dikalahka oleh rasa
penasaran saya akan situs Jujun ini yang menurut Bapak Iskandar Zakaria
merupakan salah satu bukti prasejarah dari masa Hindu Budha.
Berjalan menyusuri jalan setapak, terlihat beberapa
dolmen yang tersebar di beberapa lokasi dibawah pohon kopi dan kulit manis.
Dolmen ini hampir mirip dengan dolmen yang ada di Pulau Tengah dari segi bentuk
namun terlihat lebih kecil. Akhirnya saya menemukan sebuah pagar tempat situs
Jujun ini berada. Kondisinya masih hampir sama dengan beberapa situs lain yang
telah diberi pagar dan diberi pelindung atap. Karena pintu tidak terkunci maka
saya memutuskan untuk melihatnya lebih dekat. Di belakang pagar terlihat sebuah
drum berisi air dan ember yang dipagari bambu, juga terlihat sajadah dan
beberapa helai kain yang di letakkan di atas kayu. Saya pikir disini terdapat
juru pelihara, maka saya putuskan untuk menunggu selama lima menit,untuk
meminta izin karena juga terlihat sendal dan sebuah jangki yang berisi makanan.
Karena tak kunjung datang, saya memutuskan untuk langsung saja memotret
beberapa bagian batu.
Batu Silindrik ini
cukup terpelihara karena letaknya yang jauh dari permukiman, akan tetapi
nampaknya hal itu bukanlah sebuah jaminan, karena saya menemukan beberapa
bagian batu yang rusak akibat vandalisme. Penjagaan yang ketat harus
diberlakukan agar situs ini dapat terpelihara dengan baik. Setelah merekam
kondisi sekitar, saya beranjak menuju lokasi awal dan bergegas menuruni bukit
Talang Pulai untuk selanjutnya langsung menuju Lolo Kecil karena langit sudah
mulai gelap. Cukup berbahaya jika dalam keadaan hujan masih berada di dalam
hutan yang tanah nya masih sangat licin.
Sesampainya di simpang Jujun kami berbelok ke arah kanan,
melewati kerumunan pasar yang cukup ramai. Pasar ini tumpah ruah hingga ke
jalan raya, sehingga harus ekstra sabar untuk melewatinya karena banyaknya
orang yang berlalu lalang. Perjalanan ke Lolo Kecil disuguhi pemandangan
cassiavera yang berjejer memedarkan pucuk merah nya. Jalanan aspal yang cukup
mulus dan sepi membuat perjalanan pun semakin terasa cepat. Sesampainya di pertigaan
simpang Lolo Kecil, tepat di depan masjid Masjid Agung Lolo Kecil kami berbelok
ke arah kanan menuju Talang Kemuning. Dari kejauhan terlihat sebuah bangunan
kecil berpagar putih di tengah persawahan yang saya yakini adalah tempat situs
batu batu panjang Lolo Kecil berada. Letaknya berada di hamparan sawah di
pinggir jalan yang berjarak kira-kira 300 meter dari persimpangan. Setelah
mendekat, ternyata tidak ada akses untuk menuju situs ini sehingga harus
menyusuri pematang sawah yang cukup licin dan kecil. Saya beberapa kali hampir
terjatuh karena salah pijakan, namun akhirnya bisa juga memasuki area situs
ini.
Batu
panjang ini terletak di tengah sawah yang telah diberi pagar dan atap. Kondisi
pagar nya dalam keadaan rusak, beberapa besi pengaman terlihat rapuh, termasuk
bagian semen yang sudah berlumut dan retak. Tiang bekas papan nama pun hanya
meninggalkan kerangka saja. Sedangkan untuk batu sendiri juga sudah terlihat
berlumut di beberapa bagian yang berlobang. Batu peninggalan megalitik ini mempunyai
ukuran lebih kurang 3 meter, tergolong dalam sedimen batuan Trias (Tr) yang
keras dengan bentuk bulat memanjang dan sering juga disebut batu bedil karena
bentuknya seperti laras bedil yang makin mengecil pada bagian ujungnya.
Desa
Lolo Kecil ini dahulunya termasuk kedalam bagian dusun purba Jerangkang Tinggi
sehingga banyak sekali ditemukan batu-batu peninggalan megalitik di daerah ini.
Dan batu ini merupakan batu yang memiliki ukuran terpanjang sehingga masyarakat
sekitar menyebutnya dengan nama batu panjang. Batu ini mengarah ke Gunung Raya
disebelah Timur, Bukit Kerman di disebelah Selatan dan Bukit Tangis disebelah
Barat. Ketiga bukit ini ini diyakini oleh nenek moyag zaman dahulu sebagai
tempat bermukimnya para roh leluhur terdahulu. Batu ini berada pada ketinggian
1020 mdpl dengan jarak kurang lebih 100 meter dari Batang Air Lingkat serta
kelerengan 15-40%.
Dari
Desa Lolo Kecil, perjalanan kami lanjutkan dengan lurus menuju Desa Lolo
Gedang. Desa Lolo Gedang dan Lolo Kecil dahulunya termasuk ke dalam Kecamatan
Gunung Raya, namun saat ini beralih masuk ke Kecamatan Bukit Kerman.
Sesampainya di persimpangan, kami bertanya kepada beberapa penduduk sekitar,
dan ternyata arah yang kami tuju ini salah, jika lurus maka kami akan sampai di
Kecamatan Gunung Raya di daerah lempur. Sesuai petunjuk warga, kami berputar
arah dan kemudian lurus menuju Masjid Lolo Gedang. Masjid ini terlihat sedang
dibangun, beberapa anak kecil terlihat sedang asyik bermain layangan di halaman
depan masjid. Kami memasuki sebuah jalan yang cukup sempit di samping masjid
memasuki perkampungan warga. Jalan desa yang cukup bergelombang ini masih
terdiri dari tanah, namun tidak se ekstrim perjalanan di Desa Jujun tadi.
Setelah bertanya lagi ke beberapa warga yang kebetulan berada di pinggir jalan,
akhirnya kami menemukan sebuah papan nama
petunjuk menuju batu gong di sisi kanan jalan.
Satu
kilo perjalanan nampaknya tidaklah terlalu sulit, namun saya berpikir dua kali
setelah melihat jalanan yang sangat sempit serta berlubang penuh air. Saya
tidak menyerah sampai disini, setelah memarkir motor, kami naik menuju
perladangan berharap menemukan orang untuk minta petunjuk arah. Ada sebuah
motor di pondok kebun cabai, namun setelah dipanggil berkali-kali tidak ada
sahutan, kami berbalik lagi menuju jalan utama. Untungnya kami bertemu dengan
seorang ibu-ibu yang menganjurkan kami untuk berbalik arah saja dengan lurus
mengikuti jalan utama agar dapat sampai di batu gong. Sudah terlanjur sampai,
pantang sekali rasanya untuk berbalik pulang tanpa hasil. Kami meneruskan
perjalanan sesuai petunjuk ibu tadi.
Jalanan
pun berubah menjadi tanah merah kembali dengan batu-batu yang tajam, mirip
dengan jalan utama menuju situs Jujun. Memasuki area ladang terdapat sebuah
persimpangan jalan di antara kebun kopi yang cukup lebat. Masuk ke ladang,
jalanan berubah semakin licin, yang tadinya bertanah merah sekarang menjadi
hitam kecokalatan becek dan berlumpur cukup dalam. Naik turun ladang dengan
kondisi jalan yang tidak terlampau bagus memaksa saya untuk berhenti
mengistirahatkan motor sejenak. Berlindung dibawah rindangnya pepohonan yang
menghijau. Setelah sepuluh menit istirahat kami melanjutkan perjalanan karena
telah di buru waktu. langit juga terlihat semakin kelam. Kali ini giliran Yogi
yang mengendarai motor, berpacu dengan waktu karena tidak ingin terjebak hujan
di hutan.
Kami
sampai di simpang tiga jalan setapak lalu bertemu dengan sebuah rumah pondok
khas di ladang kemudian lurus menuju puncak bukit. Tepat berada di tengah kebun
kacang, kami menemukan situs batu gong ini yang sangat sulit di jangkau.
@ElviandriYoni