Tuesday, July 22, 2014
Dari Desa Pulau Sangkar, keesokan harinya saya
menuju Desa Tanjung Batu Kecamatan Keliling Danau. Memutar melintasi Kecamatan
Bukit Kerman ke arah Danau Kerinci. Matahari cukup panas siang ini, jalanan
aspal yang berkelok tajam juga terlihat sepi. Hanya ada beberapa pengendara
motor yang terlihat. Dahulunya, wilayah ini merupakan sebuah bukit area ladang
warga yang kemudian disulap menjadi jalan raya alternatif seiring dengan
berkembangnya desa dan bertambahnya penduduk di daerah tersebut. Desa Tanjung
Batu adalah tujuan terakhir saya dalam mengunjungi objek-objek bersejarah di
Alam Kerinci. Besok, saya akan balik ke Bogor dan meninggalkan banyak kenangan
di bumi Kerinci.
Ditengah perjalanan, saya bertanya
kepada seorang nenek yang sedang menjemur pakaian nya di pinggir danau, saya
mendekat dan bertanya tentang lokasi desa Tanjung Batu yang hendak dicari.
Sesuai instruksi beliau, dari simpang Desa Pidung, saya berbelok ke kanan arah
menuju Sanggaran Agung. Sesampainya di sebuah tikungan, terdapat informasi nama
desa di sebelah kanan jalan. Saya pun berhenti, dan melihat ke sekitar jalan
raya terdapat sebuah gang kecil yang cukup menanjak. Karena tidak ada orang
yang dapat di tanya, akhirnya saya memutuska untuk terus ke atas, hingga di
sebuah tikungan ada seorang ibu yang sedag menjemur padi. Saya bertanya perihal
letak batu terakhir yang akan saya cari ini. Akan tetapi beliau ternyata tidak
tahu dan mengatakan bahwa batu ini hanya ada di Desa Muak dan Pondok dan tidak
ada di Tanjung Batu. Tidak menyerah begitu saja, saya terus menanjak mengitari
sisi kiri bukit hingga terlihat banyak ibu-ibu yang sedang berkumpul di dekat
SD. Saya bertanya perihal batu tersebut, dan menurut ibu-ibu setempat batu
prasejarah itu memang ada di desa ini, namun tidak terawat dengan baik seperti
di Desa Muak.
“Kabar baik” pikirku dalam hati.
Masyarakat disini menyebut nya batu gong, dan menurut pengakuan warga, letaknya
cukup jauh di tengah ladang. Namun bisa ditempuh dengan sepeda motor karena
telah di buat jalan setapak dari semen. Akan tetapi, karena letaknya yang
sangat jauh ditengah ladang, ibu-ibu ini mengajurkan saya untuk ditemani
seseorang warga sini untuk mengantarkan. Hingga bertemulah dengan mas Wandi,
usianya kira-kira 27 tahun. Pemuda asli Desa Tanjung Batu inilah yang akhirnya
menemani perjalanan saya menuju batu gong Tanjung Batu. Keramahan ibu-ibu
sekitar sangat lah membuat saya senang, tak bisa menunjukkan tempat setidaknya
memberikan penuntun jalan. Itulah mengapa banyak turis yag ternyata betah
selama berada di Kerinci. Keramahan masyarakatnya menjadikan siapapun yang
tinggal menjadi nyaman.
Dengan sepeda motor, saya dan mas Wandi
bergerak menuju lokasi batu yang katanya
berada di bukit Patah. Jalan menuju lokasi ternyata memang sangat sulit
dijangkau. Dari jalan raya, masuk melalui sebuah jalan setapak kecil yang masih
tertutupi tanah mera di samping rumah warga. Selanjutnya menanjak diantara
ladang-ladang kopi milik warga, untungnya jalanan lumayan bagus karena telah
terbuat dari semen. Berbentuk jalan setapak lurus yang mengitasri bukit, menanjak,
lalu turun dan menanjak lagi. Begitulah rute yang dilalui. Dari atas sini
terlihat Danau Kerinci yang terhampar luas , menyatu dengan biru langit yang
terlihat cerah bersama beberapa rumah warga terletak di pinggir jalan saling
bergradasi bersama pepohonan rimbun yang mengurai dahan.
Masuk lagi kedalam ladang, jalanan
setapak yang terlihat cukup bersih tadi berubah menjadi jalan tanah berlumpur.
Di beberapa bagian terlihat genangan air di sekitar jalan yang cukup dalam.
Beberapa kali motor saya harus di dorong agar bisa melewati lumpur yang sangat
licin ini. Pohon pisang dan semak-semak pun semakin meninggi. Hingga sampai
disebuah jalan, terlihat sebatang kayu yang telah roboh, sehingga kami
memutuskan untuk memotong jalur sebelah kanan agar dapat di lalui motor.
Semakin kedalam, terasa semakin rimbun, semakin gelap. Hingga di depan sebuah
pagar kayu, kami berhenti dan memarkir motor di sampingnya. Kami berjalan
sekitar 100 meter masuk kedalam ladang milik warga, dan ternyata cukup sulit
untuk menemukan batu ini. Menurut mas Wandi ada tiga batu sejarah yang pernah
di temukan sekitar area ladang ini. Namun semuanya dalam keadaa tidak terlalu
baik karena tidak ada yang merawatnya.
Setelah cukup lama mencari akhirnya mas
wandi menemukan batu gong yang di maksud, terletak di bawah pohon pisang di
antara kebun kopi. Berada di antara semak-semak, dan harus dibersihkan terlebih
dahulu agar bisa mengabadikannya dalam lensa. Batu ini berbentuk bulat
memanjang, dengan bagian tengah cukup melebar sedangkan bagian ujung patah.
Mungkin karena itu juga batu ini disebut batu patah. Kondisi batu sudah tidak
terawat dengan baik, lumut terlihat di beberapa bagian batu dan dibeberapa
bagian juga sudah retak. Pada bagian bawah batu terlihat sebuah motif gong sama
seperti yang ditemukan di beberapa batu silindrik lain di Kerinci. Batu silindrik ini berbentuk seperti meriam,
dengan salah satu sisi berbentuk lonjong dan sisi yang lain datar. Pada
permukaan batu terdapat satu buah gambar manusia kangkang dan garis-garis
mendalion sejajar.Namun tidak terlihat adanya motif-motif lain. Batu ini
seperti sedang tertidur disebuah lubang yang sengaja digali sebagai tempat
bermukimnya.
Kemudian kami melanjutkan penyisiran
area ladang yang ditumbuhi banyak pohon pisang, diantara semak-semak yang cukup
tinggi dan dibawah pohon enau, kami menemukan lagi dua buah batu yang berbentuk
seperti dolmen batu rajo di Pulau Tengah, namun dengan ukuran relatif kecil.
Ditempat yang terpisah, batu ini seolah
telah tertanam ke tanah. Kondisinya jauh lebih parah, karena sudah tertimbun
tanah dan tertutup belukar. Menurut
pengakuan mas Wandi, dahulu telah ditunjuk seorang juru pelihara untuk merawat
batu ini, namun karena tidak berada di desa ini, sehingga batu ini menjadi
terbengkalai, sangat jauh dengan kondisi batu prasejarah yang saya temukan di
Pulau Sangkar, Muak, Lolo serta tempat lainnya. Adanya batu-batu peninggalan
prasejarah ini menjadi bukti kehidupan nenek moyang di masa lalu yang bermukim
di area ini. sehingga diperlukan adanya pengelolaan khusus agar terawat dengan
baik.
Cerita dihari ke-2 Penelitian
Yoni Elviandri