Tuesday, July 30, 2013
Oleh : Yoni Elviandri/Arsitektur
Lanskap 47
“Karena dari sini kujelajah dunia hingga batas
cakrawala”
Kawan, aku ingin kembali berbagi
cerita. Tahun lalu kusampaikan padamu bagaimana perjalananku untuk menjadi
salah satu mahasiswa di kampus ternama Institut Pertanian Bogor. Sebuah
rangkain kata yang dulu nya memang hanya sebatas mimpi. Dan sekarang aku disini
bersama mimpi-mimpi ku yang kubawa dari lembah kasih Bukit Barisan.
Membahanakannya di langit kota hujan, sehingga nanti kurangkai kembali menjadi
mozaik-mozaik terindah yang akan kupersembahkan untuk semua pahlawanku di
kampung halaman. Semoga menginspirasimu kawan.
Merangkai Mimpi di Kota Hujan

Nilai ujian nasionalpun tidak jauh lebih
baik dari mereka yang berkelakuan sama. Namun, itu hanya dulu kawan. Hanya di
sekolah dasar ketika aku masih ingusan. Faktanya, aku berhasil masuk ke salah
satu SMA favorit yang ada di kota, dengan nilai ujian nasional di atas
rata-rata dan juga menjadi salah satu siswa yang selalu berperingkat satu
selama SMA. Dan apakah engkau ingin tahu mengapa? karena aku punya mimpi kawan.
Yang membuatku bahkan terlampau sering dicap sebagai orang gila. Gila dengan
mimpi-mimpi besar yang kupajang memenuhi langit dan dinding kamar. Hingga hari
ini, buktinya jadilah aku salah satu anak desa yang mampu merenda impian di
pulau Jawa.

Dan untuk kau tahu kawan, aku
adalah salah satu pemanjat handal. Ku azamkan diri untuk mengais rizki sebagai
bekal nanti bisa hidup di tanah perantauan. Sabtu dan minggu ku pun kuhabiskan
di ladang. Aku menjadi seorang pemanjat cengkeh yang nantinya mendapatkan
bayaran upah hasil pekerjaan ku. Tidak seberapa memang, namun sesuatu yang
dihasilkan dari keringat sendiri itu memang luar biasa nikmatnya kawan. cobalah
kau mencobanya.
Waktu berganti bak seekor unta yang
merindukan oase di padang sahara. Pedihnya hidup pun benar-benar kurasa di
tanah perantauan dimana aku tak memiliki sanak saudara. Menjadi penerima
beasiswa Bidikmisi lantas tidak membuatku menjadi manja. Hari-hari pun kulalui
di Tingkat Persiapan Bersama di asrama. Namun, aku memiliki sesuatu yang
berbeda kawan. Mimpiku tak hanya sebatas ini. Kutahu IPB adalah tanahnya para
pemimpi ulung, karya dan prestasi mereka pun telah berkibar seantero dunia.
Maka dari itu, kuniatkan hati untuk tidak hanya sekedar menjadi mahasiswa
biasa. Namun menjadi mahasiswa diatas rata-rata. Yang pekerjaan nya tidak sama
dengan mahasiswa biasa, karya yang dihasilkan pun akan berbeda.

Trayek angkot 01 Pasar senen- Kp
Melayu dan daerah sekitarnya menjadi santapan ku di akhir pekan. Melalui
jalanan berdebu yang terlampau sering menguap seperti bau neraka. Beginilah
kehidupan Jakarta yang sebenarnya dan aku sangat beruntung menjadi salah satu
mahasiswa yang pernah merasakannya. Ketika uang seratus rupiah itu menjadi
sangat berharga dan engkau pun akan tahu betapa susahnya ibu bapakmu bekerja di
panas terik untuk keluarga yang dicintainya. Aku pernah menjadi seorang kernek
angkot kawan, berkeliling selama berjam-jam agar angkot penuh terisi penumpang
dan imbalannya hanya dua ribu rupiah kawan. Begitulah faktanya, Jakarta dan
kehidupannya tidak seindah cerita di sinetron atau televisi yang engkau saksikan.

Seperti samanea saman yang dahannya tak
pernah henti melipur dahaga, atau ketika duri mawar tak lagi berbahaya ketika
kau sentuh. Seperti itu juga dengan aku, mungkin terlalu lelah dengan
rutinitas, aku menghentikan pekerjaan ini hanya sampai di tingkat 2 semester
pertama. Waktu untuk menempuh Bogor-Jakarta cukup menyita. Namun bukan berarti
aku tak pernah lagi menengok pasar Senen, Kp Melayu dan kehidupannya. Aku selalu
menyempatkan waktu untuk berkunjung walau hanya satu kali dalam dua bulan.
Bukan karena aku menyerah dengan kelelahan namun waktu sangat tidak mendukung
untuk hal itu. Karena selepas TPB, masuk kedalam dunia departemen dan
lingkungan baru yang benar-benar begitu berbeda. Arsitektur Lanskap, ya itulah
bidang studi yang aku tekuni sekarang kawan. Dimana akhir pekan tak lagi selalu
bisa kusempatkan untuk ke Jakarta namun selalu tersita dengan tugas-tugas yang
amat mendera.
Aku tahu, nyawaku sebenarnya tak
pernah ada di bidang studi yang aku geluti ini. Aku tak sama seperti mereka
yang sangat jago dalam urusan menggambar sketsa
atau yang sangat lihai dalam komputer grafik mengolah gambar. Namun aku
tak pernah berhenti sampai disini, jika banyak mahasiswa lain yang pindah
jurusan bahkan pindah universitas, itu tidak berlaku untuk ku. Bukan lah Yoni
Sang Pejuang mimpi yang dikenal orang jika harus menyerah begitu saja. Aku
terus belajar dan memompa diri untuk menyamakan skil menggambarku dengan
mahasiswa lainnya. Lama memang dan tak semudah yang direncanakan, namun
disitulah indahnya perjuangan kawan. Nikmatnya rahmat Allah yang kita lalui
ketika belajar. Aku gemar menulis, bahkan cita-citaku adalah menjadi seorang
sastrawan besar layaknya Taufik Ismail. Terus kuasah kemampuan ku seraya tetap
menggeluti bidang arsitektur lanskap. Alangkah biasa jika seorang penulis besar
terlahir dari fakultas sastra, namun apakah tidak luar biasa jika seorang
penulis besar akan lahir dari seorang yang menggeluti bidang Arsitektur Lanskap
dari fakultas pertanian? Ya, rentetan kalimat itu kujadikan motivasi untuk
terus berkarya.
Kebutuhan untuk hidup di kota hujan
ini semakin meningkat. Dan sekarang aku telah menginjak semester 5 , biaya
untuk praktikum lapang dan segala macamnya menjadi menanjak lebih tajam. Jika
boleh bermain angka, satu kali praktikum bisa saja menghabiskan biaya sampai
tiga ratus ribu rupiah yang artinya setengah dari beasiswa bidikmisi ku pun
akan terpakai. Sebagai perantau, malu rasanya jika harus merengek meminta uang
pada keluarga. Untuk itu, aku mengikuti berbagai macam kompetisi untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Seiring berjalan dengan mimpiku untuk menjadi seorang penulis.
Aku ingin menjadi mahasiswa yang tak biasa. Yang mimpi dan pekerjaan nya
melewati batas logika.
Dan Allah tidak pernah sia-sia untuk
ummatnya yang berusaha, tahun ini aku berhasil memenangkan beberapa penghargaan
dan mengikuti kongress internasional di Korea Selatan kawan. Yang sebelumnya
bahkan tak sempat ku mimpikan. Aku Berhasil Menjadi Juara satu lomba cerita
mini internasional oleh PPI yaman, Juara dua dalam World Congress Of Global
Partnership Korea, Juara tiga menulis artikel tingkat nasional oleh PPWI
Indonesia, Juara dua menulis cerpen tingkat nasional oleh salah satu penerbit
ternama, juga dinobatkan menjadi Mahasiswa kader Berprestasi ke-1 se kota Bogor
oleh Salah satu organisasi ekstra kampus yang aku ikuti. Beberapa buku antologi
ku pun sudah beredar di pasaran. Bahkan Buku Simfoni Balqis telah launching di
Yaman dan Hongkong. Bukan gelar mahasiswa berprestasi yang ku kejar kawan, namun
lebih dari itu aku ingin setiap prestasi ini bermanfaat untuk sekitar.
Kutulis ini bukan untuk berbangga
diri kawan. Kutulis ini untukmu yang mungkin belum sepenuhnya hatimu kau
kaitkan di almamater tercinta ini. Ku tulis ini untukmu teman yang merasa
mungkin engkau tidak cocok dengan bidang keilmuan yang sedang engkau dalami
sekarang. Tapi untuk engkau sadari kawan, semua keluhan tidak akan membuatmu
menjadi besar, jangan meminta besi jika berlian telah diberikan. Jangan pula
kau pinta samudera ketika lautan telah membuat mu bernyawa, karena mana tahu
samudera itu yang akan membuatmu tenggelam, hilang dari peradaban karena engkau
tidak akan pernah tau apakah engkau masih diberi kesempatan. Maka totalitas lah
dalam setiap proses belajar kawan, cintailah semua yang telah diberikan niscaya
dengan itu engkau bisa menghargai kehidupan.
Itu sekilas tentang kisahku, semoga
menginspirasimu kawan. Selamat berprestasi mengabdi untuk negeri ini.
Dan Allah menjadikan bumi untukmu
sebagai hamparan supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi itu (Nuh
19,20)
Di bawah rahmat
Allah
Bogor, 27 Oktober 2012
Yoni
Elviandri